Bagaimana mengelola kelas dengan siswa yang memiliki berbagai corak pribadi, sifat, dan kebutuhan? Bagaimana pula bisa berwibawa di hadapan siswa yang secara fisik dan usia tak jauh beda dengan kami sebagai guru muda?
(Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peserta PPG-SM3T UNM pada acara dialog akhir pekan, 17 September 2017)
Beberapa jawaban telah saya berikan pada acara tersebut. Tapi saya ingin menuliskan kembali perpektif saya atas permasalahan tsb, menambah beberapa penjelasan yg relevan. Berharap ada pemikiran tambahan dan atau penjelasan berbasis pengalaman dari para pembaca.
----------
Pengelolaan kelas adalah bagian penting yang menentukan kelancaran dan keberhasilan proses pembelajaran. Melalui pengelolaan kelas yang baik, guru bisa memastikan bahwa siswa telah berada dalam posisi, tatanan, dan kesiapan untuk mengikuti seluruh aktivitas yang dirancang untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yg efektif.
Tentu saja tak mudah mencipatakan suasana kelas yang kondusif. Terutama pula mengingat bahwa yang dihadapi, yang mau diatur adalah makhluk hidup yang punya jiwanya sendiri. Punya kemauan, kecenderungan, kebiasaan, pemikiran, tipologi kepribadian, pengalaman, emosionalitas, dan berbagai karakteristik yang beragam dan kadang saling bertentangan. Apalagi yang dihadapi adalah individu yang sedang berada dalam fase adolensensia yang oleh para ahli disebut sebagai fase 'ombak dan badai'.
Berikut adalah beberapa penjelasan berdasar perspektif, pemahaman, dan acuan referensi saya. Kita bisa bersetuju ataupun berbeda pandangan atas pemikiran ini.
Pertama, dibutuhkan kemantapan pribadi, stabilitas emosi, dan kematangan jiwa untuk mampu menghadapi keadaan kelas dengan corak seperti itu. Ketidakmatangan mental hanya akan memicu kekisruhan kelas.
Michael Linsin (2011) menyebutkan, ada enam sifat pribadi guru yang bisa menyebabkan pengelolaan kelas sulit dilakukan. Keenam sifat yang dimaksud, meliputi:
1. Impatience (tak sabaran)
2. Quick To Anger (gampang marah)
3. Pessimism (pesimis, gampang menyerah)
4. Irritability (mudah kesal, ‘koro-koroang’)
5. Overly Sensitive (terlalu sensif, ‘baper’ —bawa perasaan)
6. Easily Frustrated (gampang frustrasi, mental rapuh)
Tugas pertama guru dalam pengelolaan kelas adalah berusaha mengelola diri lebih dahulu agar tidak dikendalikan oleh salah satu atau lebih dari sifat-sifat tsb ketika sedang berada di kelas. Ini memang tak mudah karena guru juga adalah manusia yang punya jiwa dan emosi, sementara banyak guru tidak terlatih dalam pengelolaan emosi. Namun bagaimanapun, kemampuan mengendalikan keenam sifat itu sendiri adalah hasil belajar, dan karena itu bisa dibentuk dan dipelajari. Pengalaman demi pengalaman akan bisa mematangkan guru menghadapi rupa-rupa kegaduhan kelas yang memancing emosi.
Kedua, menghadapi beragam tipologi kepribadian dan sifat anak di kelas menuntut dimilikinya banyak bekal ‘jurus’ pula. Setiap tipologi dan sifat khas anak membutuhkan kiat tersendiri untuk menghadapinya. Guru yang hanya bermodalkan satu-dua jurus akan kewalahan menghadapi ‘tantangan’ dari rupa-rupa keinginan, kebutuhan, dan kecenderungan siswa di kelas. Itu sebabnya guru dituntut mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan cinta belajar agar bisa terus melengkapi dan mengupdate diri dengan beragam “jurus” yang dibutuhkan menghadapi kemajemukan siswa di kelas.
Di samping itu, guru juga perlu memiliki kemampuan melakukan “shift-gears”—memiliki fleksibilitas untuk mengatur ‘gigi’ sesuai kondisi ‘jalanan’ yang dihadapi di dalam kelas. Kapan harus berjalan dengan gigi satu, dua, tiga, empat, atau lima. Kapan perlu tancap gas dan kapan harus pelan-pelan atau bahkan berhenti dan mundur. Inilah esensi dari penerapan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Guru yang menjalankan pembelajaran hanya mengacu pada skenario yang telah disusun, lalu tancap gas sesuai batas waktu yang telah ditetapkan demi mengejar target kurikulum, dan mengabaikan siswa yang tak bisa mengikuti irama sang guru, maka ia sesungguhnya sedang menerapkan pendekatan berpusat pada guru (teacher centered).
Ketiga, ragam dan variasi corak sifat, potensi, dan kecenderungan antarsiswa adalah potensi yang perlu dimanfaatkan sebagai sumber bagi siswa untuk saling belajar, saling mengisi, dan saling melengkapi satu sama lain. Siswa dengan kapasitas dan kecepatan belajar lebih bisa dimanfaatkan untuk memberi energi belajar bagi siswa yang memiliki kapasitas dan kecepatan belajar yang lamban. Siswa ekstrovert (cenderung aktif, mendominasi, ekspresif) bisa menjadi partner saling melengkapi dengan siswa introvert (cenderung tenang, tak banyak bicara, fokus) dalam pembelajaran berbasis koperatif. Variasi tipe/gaya auditif, visual, dan kinestetik atau ragam kekhasan dalam kecerdasan ganda di antara siswa bisa jadi kekuatan saling melengkapi dalam menyelesaikan tugas belajar bebasis projek. Tantangan guru adalah menjadikan kelas dengan ragam corak pribadi tsb menjadi learning-community, masyarakat belajar.
Keempat, wibawa adalah kualitas pribadi yang membuat seseorang bisa disegani dan dipatuhi. Kata-katanya didengar dan diikuti. Wibawa sendiri diperlukan bukan untuk kepentingan sang guru, melainkan demi kepentingan siswa sendiri, yaitu agar mereka bersedia terlibat secara mental dalam aktitivitas pembelajaran yang dirancang oleh guru.
Wibawa lebih berkaitan dengan kualitas mental, bukan kegarangan penampilan fisik. Karena itu, setiap orang apapun keadaanya (tinggi-pendek, gagah-tidak gagah, gemuk-kurus, tua-muda, yunior-senior, bahkan cacat fisik sekali pun) bisa membangun citra diri berwibawa. Beberapa kualitas mental yang menjadi pondasi dasar membangun wibawa, antara lain: percaya diri, tenang, kualified, kompeten, tegas, konsisten, satunya kata dg perbuatan, atau sifat apapun yg karenanya orang lain (siswa) menjadi kagum dan respek. Dan semua sifat dan kualitas peribadi seperti ini adalah hasil belajar. Bukan bawaan herediter. Karena itu bisa dipelajari dan dikuatkan pada diri sendiri. Masalahnya, apakah kita bersedia bersusah-susah “menggoreng diri” (terus belajar, meretrospeksi diri, memperbanyak pengalaman, meninggalkan zona nyaman) demi melengkapi diri dengan semua sifat positif tersebut?
#catatan_refleksi_diri_sebagai_pendidik
Komentar
Posting Komentar
Tiada gading yang tak retak, saran dan masukan Anda akan sangat membantu kami. Budayakan Membaca Sampai Akhir, Jika ada yang masih kurang jelas, Anda dapat menuliskannya pada kolom komentar di bawah ini atau melalui Contact Us di bagian blog ini.
1. Centang kotak Notify me untuk berlangganan.
2. Setiap Komentar yang masuk akan kami moderasi, sebelum tampil dipublish.
3. Patuhi pedoman berkomentar dengan sopan santun dan menghargai pendapat orang lain.
Semoga kedepannya kita dapat bekerja sama dengan baik!
Salam Sukses dan Bahagia.